Meski tumbuh dan besar sebagai keturunan Tionghoa, Adji yang memiliki nama Tionghoa Go Djien Tjwan ini diajarkan menghargai dan belajar kesenian Jawa. “Mami saya yang bukan orang Jawa tapi selalu mendorong saya untuk belajar kesenian Jawa, saya dioyak-oyak menari Jawa,” kata dia. Setiap akhir pekan, dia menyaksikan pertunjukan Wayang Orang (WO) Ngesti Pandawa Semarang.
Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan
Selain itu, saat mulai mengenal baca-tulis, ibundanya selalu membelikan dan menyewakan komik yang berisi cerita Ramayana dan Mahabharata karangan RA Kosasih. Sejak saat itu, ia memahami dan mencintai cerita-cerita pewayangan, bahkan hafal di luar kepala. Jasa kedua orangtuanya inilah yang kelak bakal mengantarnya menuju hidup berkesenian yang matang dan menjadi rohaniwan Konghucu di Solo.
Saat adik bungsunya baru berusia satu tahun, ibunda Adji meninggal dunia karena kanker payudara. Saat lulus SMA, ia dan empat adiknya menjadi yatim piatu setelah ditinggal ayahanda selama-lamanya. Kemudian ia bersama seluruh saudaranya diboyong kakeknya kembali ke Solo. Di Kota Bengawan, ia hidup di kalangan muda-mudi Konghucu, belajar agama dan kesenian hingga kemudian ia mantap memeluk agama Konghucu.
Adji mendapat gelar calon pendeta Konghucu pada 1980. Kemudian meningkat menjadi asisten pendeta pada 1990. Semestinya kini ia sudah diangkat menjadi haksu (pendeta Konghucu) namun karena merasa masih belum pantas, ia hingga kini masih bergelar Ws (Wense) di depan namanya. Dalam setiap kesempatan, ia memimpin peribadatan agama Konghucu dan menjadi salah satu tokoh Konghucu ternama di Solo.
Saat boyongan ke Solo, Ws Adji Chandra bergabung dengan kelompok kesenian wayang orang Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Pengetahuannya tentang cerita Ramayana dan Mahabharata semasa remaja, tersalurkan saat mengikuti kelompok kesenian yang semua pemain dan pengrawitnya keturunan Tionghoa. Di kelompok itulah, ia merasakan kejayaan dan kebanggaan berkesenian Jawa. Sejumlah prestasi dan pertunjukan di luar negeri pernah ia rasakan.
“Saya sering bicara ke anak-anak muda, saya yang keturunan China, paitan pupur (bedak) sama selendang bisa keliling dunia. Apa kamu yang Jawa tidak suka kesenian sendiri, kan lucu. Orang asing belajar wayang dan kesenian Jawa ke sini, apa nanti belajar wayang ke luar negeri,” demikian kritiknya.
Dia bicara keras karena minimnya orang Jawa mempelajari kesenian sendiri. Padahal, kesenian memiliki potensi prestasi dan kebanggaan yang luar biasa asal dikelola dengan baik. Untuk lebih diterima masyarakat, dia usul dalam pementasan perlu ada pembenahan tanpa mengubah pakem. “Agar wayang tidak bertele-tele. Cerita dipadatkan agar tidak mengurangi arti sehingga anak-anak muda tertarik,” imbuhnya.
Ada peristiwa penting pada saat pementasan wayang orang memperingati HUT ke-50 PMS pada 1982. Sebelum pentas, tokoh Semar saat itu mendadak meninggal dunia karena serangan jantung. “Sutradara bingung cari siapa yang tepat. Saya yang terpilih, bukan karena postur tapi profesi saya yang rohaniawan Konghucu yang sering memberi wejangan. Semar kan pewejang, jadi ada kesamaan karakter,” tutur Adji. Dan akhirnya sejak hari itu, tokoh Semar secara abadi diperankan Adji Chandra. “Saya sangat bangga lewat peran ini bisa menyampaikan nasihat-nasihat kebaikan.”
Hingga sekarang, ia memiliki tim punakawan yang mulai dibentuk pada 2000 dan hingga hari ini masih tetap eksis. Keempat pemeran tokoh punakawan, tutur Adji, memiliki latar belakang berbeda, seperti tokoh Gareng diperankan oleh anggota majelis gereja Solo, kemudian Petruk diperankan oleh seorang ustad sedang Bagong diperankan lurah. Semua bisa tampil dengan baik karena mereka seniman dan beberapa kali pentas di depan presiden. “Di depan Gus Dur tiga kali, Bu Mega sekali, Pak SBY sekali. Konghucu yang punya Semar hanya Solo,” ujarnya bangga.
JIBI/SOLOPOS/Ahmad Hartanto