"Hampir setiap pekan, pasti ada sapi yang mati mendadak terindikasi antraks. Petugas seperti saya harus siap 24 jam mengantisipasi agar wabah antraks tak semakin menyebar," tutur lelaki kelahiran Sragen, 6 April 1978 ini. Walaupun pekerjaannya tergolong berisiko tinggi, tapi Toto, panggilan akrabnya, tetap menjalankannya dengan sepenuh hati. Dia mengaku sempat gentar kala melihat sejumlah warga Tanon yang kulitnya mlepuh terjangkit antraks, tahun lalu. "Bisa dibilang, itu awal saya menghadapi penyakit antraks. Lama kelamaan, saya menjadi terbiasa sendiri. Apa jadinya warga kalau petugasnya ikut ketakutan," guraunya.
Promosi Sejak Era Sukarno, Sejarah Timnas Indonesia Jangan Kalah dari Malaysia
Suami dari Nuraini, 28, ini beranggapan, kasus antraks di Sragen akan terus menggejala bila tak ada penanganan yang terintegrasi dan menyeluruh. Penanganan dari dukuh ke dukuh yang dilakukan selama ini, dianggapnya tak mampu memupus rantai penyakit antraks. "Harusnya Pemerintah berani menyatakan bahwa antraks di Sragen sudah menjadi persoalan nasional. Sehingga penanganannya pun jadi lebih makro. Setidaknya adakan vaksinasi massal pada ternak di Soloraya. Kalau minim terobosan, sampai kapan pun wabah antraks akan sulit dibasmi," ucap mantan pegawai perusahaan farmasi ini.
Namun begitu, ia mengapresiasi kebijakan Pemkab saat ini yang lebih terbuka dalam membeberkan kasus antraks ke media. Hal itu, imbuh dia, dapat menjadi pembelajaran bagi warga dalam menghadapi antraks. "Political will sebenarnya sudah dimiliki. Tinggal bagaimana Sragen terus mengupayakan inovasi. Tak lupa, dana penanganan antraks juga harus layak dan memadai," tutup ayah berputri satu ini.
Chrisna Chanis Cara