Suatu ketika ia pergi berlibur ke Kota Jogja untuk melihat Candi Prambanan. “Dulu saat sekolah candi ini hanya saya lihat di buku sejarah. Tapi, kini candi ini nyata-nyata ada di depan mataku,” gumamnya mengagumi keindahan candi itu.
Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda
Setelah lelah melihat candi, ia pergi ke penginapan. Namun, di pelataran candi ada simbah tua sedang duduk dekat gerobak es dawet. Sebenarnya, Jeng Janeth, demikian panggilan akrabnya, menunggu suaminya Mas Behi yang akan menjemputnya pulang.
“Es dawet Mbah,” pinta Ruhut. “Sampun telas,” jawab si Mbah dalam bahasa Jawa. Artinya, sudah habis. Tapi, dasar Den Baguse itu tak mengerti bahasa Jawa, ia hanya mereka-reka saja kata telas ia artikan gelas.
“Ya, pakai gelas toh Mbah. Mosok pakai daun,” jawab Ruhut sekenanya. “Niki tingalin, sampun sat-satan [ini lihat sudah kering],” jawab Jeng Janeth.
Den Baguse mencoba mereka-reka lagi Sampun sat-satan pasti artinya pakai santan. “Tentu Mbah pakai santan, biar enak kurasa,” kata Den Baguse semangat.
“Bocah iki kok mboten tahu mirengken, pancen wong edan [Anak ini kok ngak pernah menyimak, memang orang gila],” kata simbah ketus.
Lagi-lagi Den Baguse keliru menafsirkan kata edan sehingga ia menjawab omongan simbah semaunya saja. “ Si Mbah kok tahu kalau saya orang Medan?” jawab Ruhut sembari senyum.
Jarudin Sianipar
Klitren Lor GK III/577 Jogja