Rumah Mas Behi ini lokasinya beda kampung dengan rumah kontrakan Den Baguse. Ceritanya, hari itu Den Baguse yakin rumah Mas Behi kosong mlompong. Maklum, beberapa hari sebelumnya Mas Behi pernah bilang, mau pergi ke Surabaya beberapa hari. Den Baguse sore-sore menyelinap ke rumah Mas Behi lewat pintu belakang, yang menurut kebiasaan tidak pernah dikunci. Den Baguse yakin, para tetangga tidak curiga, sebab ia sering main ke rumah Mas Behi.
Promosi Meniti Jalan Terakhir menuju Paris
Di kamar Mas Behi, radio transistor itu nangkring di meja. Dengan tangan gemetar Den Baguse pun membungkus radio transistor murahan itu dengan kain, dan membawanya ke luar. Kebetulan, suasana di luar sedang sepi. Tak ada warga kampung yang melintas. Den Baguse pun bergegas nggenjot sepedanya pulang.
Beberapa hari kemudian, kabar hilangnya radio transistor Mas Behi itu menyebar. Den Baguse turut menguping pembicaraan. Ternyata, ancaman warga sekitar itu mengerikan.
“Kalau ketemu malingnya, langsung dibakar saja!” teriak salah seorang warga. “Lho, jangan. Dipukuli dulu sampai bonyok, baru dibakar,” komentar yang lain.
Bayangan tubuhnya dipukuli dan dilalap api membuat nyalinya menciut. Saking takutnya diamuk massa, pemuda lontang lantung itu menemui sesepuh kampung, nangis-nangis dan meminta maaf.
“Mana radio transistornya?” tanya sesepuh kampung setengah menghardik setengah kasihan.
“Ada di rumah, Pak,” jawab Den Baguse lirih.
Den Baguse pun diantar pulang untuk mengambil radio. Sampai di rumahnya, Den Baguse tersentak. Blaik! Radio transistor yang disembunyikan di semak-semak di bawah pohon sawo, ternyata telah diembat maling pula. Tak ada jalan lain, sesepuh kampung itu memerintahkan Den Baguse untuk mengganti radio transistor yang telah dicurinya itu. Den Baguse pun berujar memelas.
“Saya sebenarnya bersedia mengganti. Tapi ngomong-ngomong, uangnya dari mana, ya?”
“Lha kok malah nanya, ya cari, to!” kata sesepuh kampung jengkel buanget.
Agung Hartadi Prenggan, Kotagede