Esposin--Ikhtilaf berarti perbedaan. Dalam ungkapan panjang berbahasa Arab berbunyi ikhtilafu ummati rahmatu yang bermakna perbedaan itu suatu rahmatullah. Perbedaan tak terhindarkan dalam kehidupan sosial. Sikap yang diambil dalam konteks ini adalah al ikhtilaf fil ittihad, bersatu dalam pebedaan.
Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan
Bersatu dalam perbedaan karena antarmereka bersedia mendiskusikan (musyawarah) sehingga dicapai suatu mufakat. Dalam perspektif historis kedatangan agama dunia pada abad ke-7 hingga ke-17 antarmereka menerima perbedaan,dan bahkan kultur lokal kemudian dimatangkan dengan pengayaan kultur Hindu, Buddha, dan Islam.
Pengayaan kultur yang diberikan ulama dan pedagang Timur Tengah kepada bangsa kita adalah mengajarkan aktivitas dagang dan mengenalkan sistem pemerintahan kesultanan. Di antara mereka ada yang menjadi penasihat politik, menikahi perempuan setempat, dan menumbuhkan konversi keyakinan (the faith).
Perkawinan dan konversi keyakinan menambah padatnya pluralisme. Sementara itu, Nusantara terdiri dari beribu pulau, dihuni berbagai etnis dan religi yang mengindikasikan kuatnya pelangi kehidupan sosial.
Pada posisi inilah mereka mengajarkan bangunan struktur masyarakat organik, suatu struktur yang meliputi ranah material dan spiritual. Ranah material berwujud interaksi dagang antarmereka sebagai indikasi saling membutuhkan demi kemajuan perekonomian.
Mengutamakan Kepentingan Umum
Sementara itu, ranah spiritual berwujud ketertarikan masyarakat setempat berkonversi pada keyakinan baru. Kedua aspek di atas menjadi prinsip untuk mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau kelompok.Gejala ini sebagai kesadaran baru. Pada satu sisi mendorong nilai-nilai persamaan dan keadilan dan pada sisi lain tumbuh intelektualisme abad ke-17 hingga ke-19. Kaum intelektual itu Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, Yusuf al-Maqassari, Abdul Samad al-Palimbani, Mahfuzh al-Termasi, Hasyim Asy’ari, dan lainnya.
Mereka tidak sekadar sebagai sosok penerima pemikiran intelektual Timur Tengah, tetapi juga menghasilkan karya brilian yang bernilai yang dijadikan bahan kajian di Timur Tengah. Tumbuhnya pluralisme terindikasi dari nilai persamaan dan keadilan. Intelektualitas Islam menunjukkan tumbuhnya masyarakat kosmopolitan dan egalitarian.
Dalam hubungan ini Robert A. Dahl berpendapat pluralisme adalah wahana mempercepat dinamika kemodernan sosial. Masyarakat minoritas perantau diterima dan menjadi bagian identitas bersama. Faktor identitas bersama kemudian berkembang menjadi budaya lokal berpijak pada kemanusiaan, mufakat, dan gotong royong.
Ketika elite politik membahas philosofische grondslag dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPK) maka nilai di atas menjadi prinsip yang melekat pada sila-sila ideologi bangsa dan bahkan perbedaan etnis dan religiositas terbingkai dalam pilar Bhinneka Tunggal Ika.
Panitia Sembilan yang dibentuk BPUPK merumuskan Pancasila dalam Piagam Jakarta (22 Juni 1945) dan memoles rumusan Pancasila yang sudah dikemukakan Soekarno. Kata “Ketuhanan” kemudian ditambah dengan “Menjalankan Kewajiban Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya”.
Penambahan kata itu menimbulkan perdebatan dalam sidang Panitiai Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI (18 Agustus 1945) bahkan ada kekhawatiran timbul friksi religiositas antarkelompok politik dan agama.
Bersatu dalam Perbedaan
Kasman Singodimedjo sadar dan kemudian memilih al ikhtilaf fil ittihad, dengan mengutamakan persatuan nasional. Dia mendiskusikan dengan Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H. Wachid Hasjim, Soekarno, dan lain-lain untuk bersetuju menghapus tujuh kata pada sila pertama dalam Piagam Jakarta.Dengan begitu mereka telah menerapkan budaya bersatu dalam perbedaan demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Al ikhtilaf fil ittihad dalam budaya IslamBembingkai pilar ideologi bangsa kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Bersatu dalam perbedaan, baik etnisitas maupun religiositas, esensinya dijiwai oleh roh Al-Qur’an (QS al-Hujurat [49]: 13). Secara ringkas ayat tersebut berbunyi Allah SWI menciptakan manusia beragam, laki-laki dan perempuan, bersuku, beretnis, dan berbangsa berbeda, dan kewajiban kita semua adalah saling mengenal mereka, baik tradisi budaya, adat-istiadat, dan pemikirannya.
Budaya Islam ”bersatu dalam perbedaan” penting menjadi modal aktualitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk menguatkan toleransi yang menjiwai masyarakat bangsa sejak abad ke-7 hingga ke-17.
Pada era reformasi, keinginan membangun demokrasi terkoyak oleh eksklusivisme agama, sehingga memengaruhi toleransi, kebinekaan, dan demokrasi yang sedang berjalan.
Keberhasilan demokrasi dapat diraih melalui penguatan inklusivisme agama, kebijakan afirmatif padat karya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, dan penghapusan kongkalikong antara elite politik dan pebisnis.
Hermanu Joebagio hermanu.joebagio@gmail.com Kepala Pusat Studi Pengamalan Pancasila Universitas Sebelas Maret