Esposin--Nasionalisme adalah ideologi modern sebagai bentuk kecintaan kepada tanah air. Ideologi itu tumbuh ketika masyarakat bangsa sedang mengalami posisi sulit akibat karut-marut kehidupan sosial ekonomi dan sosial politik.
Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia
Islam mewajibkan mencintai tanah air. Dalam QS Al-Qashash: 85 dikemukakan ketika Nabi Muhammad SAW hijrah menuju Madinah, tiba-tiba beliau rindu Mekkah. Rindu berarti kesadaran untuk mencintai dan membangun tanah air sendiri, setia, membangun persaudaraan dan kerukunan, menjaga kedaulatan, rela berkoban, dan menaati peraturan yang digariskan.
Kesadaran Muhammad Rasulullah dapat ditafsirkan sebagai kesadaran transitivitas kritis. Ada tiga kesadaran, yaitu semi-intransitif, naïf transitif, dan transitivitas kritis. Semi-intrasitif adalah kesadaran memori masa kanak-kanak. Naif transitif adalah kesadaran diri sedang menghadapi persoalan tapi belum mampu memecahkan.
Transivitas Kritis
Transitivitas kritis sebagai kesadaran memecahkan persoalan pelik yang sedang dihadapi secara empiris. Padatnya masalah pelik yang dihadapi Nabi Muhammad SAW bukan saja sekadar konversi agama, tetapi juga menata kehidupan sosial ekonomi dan politik.Kesadaran transitivitas kritis melekat pada siapa saja. Kaum nasionalis yang ingin mewujudkan kemerdekaan untuk persatuan dan kesatuan bangsa adalah bagian dari kesadaran transitivitas kritis. Kesadaran kaum nasionalis dipelopori kaum intelektual yang mendapat pendidikan formal, baik sekolah umum maupun pesantren atau madrasah.
Kaum nasionalis muslim bersinergi dengan kelompok politik dan agama lain. Dalam konteks ini Ahmad Syafii Maarif (2009) mengemukakan antarmereka tak pernah menetapkan timbangan etnisitas dan religiositas dalam berelasi dan bersinergi untuk mengusir kolonialis Belanda.
Pada masa revolusi Natsir, Prawoto Mangkusasmito dekat dengan I.J. Kasimo, Herman Johannes, A.M. Tambunan, dan Johannes Leimena berdampingan mempertaruhkan diri mereka demi martabat, kesederajatan, dan harga diri sebagai bangsa Indonesia.
Abdurrahman Wahid (2007) menafsirkan relasi antarmereka itu berprinsip pada intelektualisme dan kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip berelasi itu merujuk pada kosmopolitanisme Islam. Kosmopolitan didasarkan pada moralitas inklusif dan meniadakan batasan etnis dan religius serta menerima keberagaman.
Kebenaran dan Kejujuran
Watak kosmopolit suka berdialog mencari wawasan terjauh dalam menemukan kebenaran dan kejujuran. Dialog tidak menghakimi atau mengadili karena antarmereka saling menghormati. Embrio kosmopolitanisme berkembang ketika masyarakat Nusantara abad ke-7 hingga memasuki abad ke-15 berinteraksi dengan pedagang Timur Tengah.Apakah kita mewarisi kosmopolitanisme atau kosmopolitanisme sudah optimal dalam kehidupan kita? Muslim bisa mewarisi pikiran kosmopolit, tapi tidak semua muslim mampu menjadi kosmopolitan. Karena pikiran kosmopolit dalam pikiran Immanuel Levinas dan Jacques Derrida mampu membangun relasi sosial antarmanusia dan ”tidak” memandang orang lain sebagai the other (liyan).
Islam tidak mengajarkan liyan, tapi dengan tiga ukhuwah (persaudaraan), yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Ukhuwah sarat dengan dimensi moral yang akan memberi jaminan kesetaraan dan keadilan. Titik optimum inilah yang hendak dicapai.
Ukhuwah juga melekat dalam mukadimah kita, yakni memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan, membangun ketertiban dunia, perdamaian, dan keadilan. Sedangkan dimensi moral melekat dalam pokok pikiran Pancasila yang diimplementasikan pada kehidupan berbangsa dan bernegara, meliputi persatuan, keadilan, kedaulatan, dan berketuhanan. Nilai di atas wajib menjadi bagian penting kehidupan kita.
Hermanu Joebagio hermanu.joebagio@gmail.com Kepala Pusat Studi Pengamalan Pancasila Universitas Sebelas Maret