Esposin--Rumusan relasi agama dan sains sepanjang sejarah hingga hari ini tidak pernah memuaskan, baik di Barat maupun di Timur. Hingga hari ini keduanya masih terus bertarung dalam ruang pengaruh dan daya magis.
Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh
Dalam peradaban Barat, terlalu banyak contoh orang-orang yang berilmu mengalami kekerasan. Socrates pada 15 Februari 399 SM dihukum mati karena gagasas-gagasannya dianggap meracuni generasi muda.
Dalam sejarah, hukuman mati terhadap Socrates menjadi simbol bagi kemenangan mitos dan ”agama” atas ilmu pengetahuan. Pada Abad Pertengahan, Barat mengalami masa kegelapan dan gereja mendominasi seluruh tafsir atas kehidupan.
Barulah pada abad ke-18, Barat menemukan kembali pencerahan dan berpikir bebas berdasarkan riset-riset ilmiah. Sementara itu, di Timur, juga tidak terbebas dari pengalaman serupa.
Ulama-ulama yang menyajikan gagasan-gagasan ilmiah dan mencoba menghubungkan ilmu-ilmu agama dan ilmu alam dimusuhi dan dianggap sesat. Ibnu Katsir yang sebenarnya tidak terlalu liberal, konon pernah dipersekusi oleh orang-orang yang berbeda mazhab.
Rumahnya bahkan dilempari batu hingga membentuk gundukan mirip bukit. Para filsuf dianggap sesat. Persekusi-persekusi hingga pembunuhan kerap terjadi. Secara terpisah, Hulagu Khan dari Mongol menyerang Bagdad pada 1258 membunuh semua ulama dan karya-karya penting mereka.
Saling Menopang
Baitul Hikmah sebagai perpustakaan terbaik di Bagdad dibakar dan membuat peradaban Islam tersungkur karena terputus mata rantai ilmu pengetahuan. Jatuhnya Bagdad mendorong penulis-penulis muslim seperti Abu Hamid al Ghazali dan Ibnu Taymiyah mengarang buku dengan judul Kebangkitan Islam seperti tersirat dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin.Dua karya ini, menurut penulis Barat, dianggap menutup elan vitae Islam dalam pengembangan ilmu dan filsafat. Kejayaan peradaban Islam pada Abad Pertengahan di bidang ilmu agama dan sains akhirnya mati suri pada abad-abad ke-15, ke-16, ke-17, dan seterusnya.
Pertarungan antara ahlul ra’yi (rasionalitas) dan ahlu al riwayat (tekstual/skripturalis) akhirnya dimenangi oleh yang disebut kedua. Pintu ijtihad oleh para ahli telah tertutup sejak itu. Doktrin Islam dianggap telah sempurna dan tak perlu lagi ditafsirkan.
Gegap gempita revolusi industri di Barat tak mengganggu rasa nyaman ini. Akhirnya dunia Islam tersadar telah tertinggal jauh. Zaman modern dengan segala kemajuan sains dan teknologi tidak dilahirkan oleh Islam ataupun gereja tapi oleh sains Barat.
Apakah pertarungan antara agama dan sains sudah selesai pada era modern dan era digital ini? Belum. Trennya berubah. Para intelektual agama tidak lagi memosisikan sains sebagai musuh dan sebaliknya.
Relasi agama dan sains dicoba diintegrasikan dengan cara sedemikian rupa sehingga keduanya saling menopang. Kalimat paling pas dikemukakan oleh Albert Einstein, ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh.
Dalam buku The Mind of God, Paul Davies menyatakan ilmu pengetahuan tanpa Tuhan kehilangan misteri. Davies dan kita semua menyadari bahwa kita hanyalah debu-debu sangat kecil di samudra kosmos atau semesta raya.
Harus diakui, melesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan para ateis. Copernicus dan Stephen Hawking, misalnya, menyatakan dalam penciptaan alam semesta gagasan Tuhan tidak tampak. Secara lebih tegas, menurut Hawking, alam semesta diciptakan oleh gaya gravitasi.
Roger Bacon, Isaac Newton, dan lain-lainnya bahkan menyatakan alam semesta bersifat mekanis dan tidak bersifat teleologis (berjalan sesuai tujuan-tujuannya). Pandangan reduksionistis Bacon dan Newton dianggap menghilangkan sakralitas alam semesta ini.
Terjadi sekularisasi kosmos dan ini dalam jangka jauh memberi persetujuan ilmiah pada manusia untuk mengeksploitasi bumi. Manusia sebagai penakluk alam dan makna khalifatullah fil ‘ardh (wakil Tuhan di muka bumi) diselewengkan.
Syed Hossein Nasr (lahir 1933), intelektual muslim asal Iran dan lama bermukim di Amerika Serikat, dan Ziauddin Sardar (lahir 1951) mengkritik sekularisasi sains. Peradaban Barat yang sekular dengan sains dan teknologi sebagai garda depan, meski diakui sangat menakjubkan, terbukti telah merusak lingkungan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi bagi Barat, menurut Nasr, dikembangkan untuk tujuan pengendalian, bukan untuk mencapai kearifan. Sains modern Barat kehilangan roh dan teknologi ciptaannya dapat mengancam peradaban manusia, misalnya, dengan perang nuklir dan atau perang biologi.
Itulah sebabnya, menurut Ziauddin Sardar, intelektual Islam asal Pakistan, nilai-nilai agama sangat dibutuhkan untuk memberi bobot nilai pada sains dan teknologi sehingga penerapannya lebih arif dan spiritual. Tauhid harus menjadi matriks dalam pengembangan dan penerapannya.
Setiap upaya moderasi dan sinergi antara agama dan sains tidak selamanya mulus. Di setiap agama ada ketegangan antara keduanya. Segi-segi teknis penerapan sains dan teknologi tak jarang tampak berbenturan dengan nilai-nilai agama.
Penerapan vaksin, penggunaan alat kontrasepsi, penentuan awal Ramadan, dan lain-lain tak jarang mengalami, dalam batas-batas tertentu, ketegangan di sebagian kelompok umat beragama. Baru-baru ini pandemi Covid-19 yang secara ilmiah telah teridentifikasi jenis dan pola persebarannya juga jelas mendapat resistensi dari kelompok-kelompok kaum beragama.
Sikap Ilmiah dan Religius
Protokol kesehatan yang ditetapkan WHO untuk mencegah penyebaran Covid-19 tidak ditaati dan lebih memilih melanggarnya dengan tetap beribadah secara massal di tempat-tempat ibadah dengan alasan soal ajal adalah soal takdir.Meremehkan ancaman Covid-19 adalah artikulasi dari ”penentangan” atas sains. Takdir adalah batas tertinggi dan terakhir setelah semua upaya dilakukan. Dengan meraih tujuan yang lebih besar, yakni menjaga jiwa, dengan bimbingan sains maka menghindari wabah ganas covid-19 ini merefleksikan sikap ilmiah dan religius sekaligus.
Banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia menjaga keselamatan hidup, misalnya QS Al Baqarah: 168. Terkait wabah, Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan agar tidak datang ke tempat yang sedang diserang wabah dan jangan keluar dari daerah pandemi.
Perintah masuk karantina ada sejak era Nabi SAW dan bahkan lebih kuno lagi berdasarkan kearifan lokal umat manusia sejak mengenal wabah. Dengan demikian, terlalu memuja sains dan teknologi tidaklah bijaksana karena sehebat-hebatnya ilmu tak banyak mengungkap banyak misteri alam semesta yang mahaluas.
Demikian juga sebaliknya. Semoga pada Ramadan ini, kita tetap diberi kearifan untuk melihat agama dan sains secara seimbang sesuai dengan batas-batas yang melekat dalam dua entitas itu.
Mudhofir Abdullah Guru Besar Ilmu Pengkajian Islam Rektor IAIN Surakarta