Esposin--Menurut Richard Kilminster (1997), kata ”globalisasi” yang sering diperluas maknanya menjadi ”dunia tanpa batas” muncul untuk kali pertama di kamus Inggris Webster pada 1961 dan dicetuskan oleh Roland Roberston.
Promosi Meniti Jalan Terakhir menuju Paris
Roberston meyakini globalisasi adalah fenomena pramodern yang dilakukan Barat untuk kolonialisme wilayah Asia dan Afrika pada abad ke-15. Globalisasi menemukan kecepatannya berkat temuan minyak yang mendorong lahirnya industri-industri modern.
Anthony Sampson, penulis buku The Seven Sisters (1975), mengemukakan seperti efek domino, temuan minyak telah mengubah dunia dalam waktu singkat. Seperti aliran darah, minyak memompa lahirnya inovasi-inovasi teknologi seperti teknik pengeboran, transportasi, pengerasan jalan, dan alat-alat telekomunikasi.
Memasuki abad ke-19, zaman modern lahir dengan seluruh decak kagum kemajuannya. Di tengah-tengah dunia yang sangat maju ketika sains memimpin temuan demi temuan, peran agama-agama menjadi ”terpinggirkan”.
Agama-agama ”hanya” mengisi ruang rehat dalam kehidupan. Musala-musala hanya di pojok kecil hotel-hotel dan mal-mal. Dakwah agama-agama menemui banyak tantangan. Karena itulah, dalam konteks Islam, jalan dakwah harus dilakukan dengan cara-cara baru yang tidak konvensional.
Transformasi
Mendakwahkan ”yang tak terlihat” seperti keimanan kepada Allah dan hari akhirat di tengah-tengah kemajuan sains tidaklah mudah. ”Ayat-ayat” Google telah membuka semua rahasia yang dahulu dianggap misteri. Mitos-mitos telah dengan mudah diverifikasi di Google.Kompetisi ayat-ayat Al-Qur’an dan ”ayat-ayat Google” dengan demikian tak dapat dihindarkan. Apakah bagi dakwah Islam, globalisasi menjadi kendala? Tidak. Menurut Ernest Gellner dalam Muslim Society (1981), umat Islam saat berjumpa dengan peradaban Helenisme (Yunani-Romawi) pada Abad Pertengahan sangat berhasil.
Pada perjumpaan pertama ini, Islam mampu mentransformasi filsafat dan ilmu pengetahuan Helenisme ke dalam peradaban Islam dengan inovasi-inovasi. Lahirnya ilmuwan-ilmuwan muslim pada Abad Pertengahan ini menurut Bernard Lewis dianggap sebagai transmitter bagi peradaban Barat modern.
Tanpa perantara intelektual-intelektual muslim itu, peremajaan peradaban Yunani-Romawi di Barat modern tidak akan terjadi. Dengan menatap sejarah keberhasilan perjumpaan tersebut, perjumpaan kedua pada abad modern ini lebih terbuka.
Harus diakui, zaman modern dengan ciri khas teknikalisme—meminjam diksi Marshall Hudgson—adalah zaman yang sangat berbeda. Teknikalisme diproduksi oleh eksperimen-eksperimen dengan dana besar. Institusi-institusi pendidikan, industri, dan bahkan militer berkolaborasi untuk mengeksplorasi dunia lain hingga luar angkasa.
Dengan motif pengendalian dan penguasaan dunia yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme, supremasi sains Barat modern nyaris menaklukkan apa saja di muka bumi. Supremasi ini, tentu saja, tidak cukup dihadapi dengan teks-teks kitab suci.
Jika cara dan strategi yang sama diadopsi sebagaimana keberhasilan dalam perjumpaan pertama antara Islam dan Helenisme pada Abad Pertengahan, maka abad modern ini sangat terbuka untuk berhasil.
Diperlukan peremajaan kembali lembaga-lembaga pendidikan Islam, riset-riset, keterbukaan untuk kerja sama, mempelajari filsafat, sains, teknologi, dan lain-lain dengan penuh minat tinggi sebagai sebuah jihad.
Tempatkan teks bersama-sama dengan konteks. Tidak menyajikan doktrin-doktrin kaku tanpa melakukan kontekstualisasi dengan situasi dan kondisi. Memanfaatkan sarana-sarana modern seperti Facebook, Twitter, Instagram, Netflix, Ebay, dan lain-lain sebagai alat dakwah.
Mendorong inovasi-inovasi dalam industri dan platform di lembaga-lembaga pendidikan bersama-sama dengan pengajaran moral Islam. Sebenarnya, dari sisi doktrin dan sejarah, pandangan dunia tanpa batas atau globalisasi telah diisyaratkan di dalam Al-Qur’an, misalnya QS 28: 77, 34: 28, 49: 13, 25: 1, dan lain-lain.
Dalam Surat Al Furqan [25]: 1 disebutkan,”Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam’. Kata liyakuna lil ‘alamina nadzira menunjukkan arti globalisasi dan tidak terbatas pada masyarakat tertentu.
Efektivitas implementasi ayat ini menuntut kecakapan teknik dengan seluruh percabangannya. Agama memerlukan infrastruktur dan infrastruktur terus berkembang seiring perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam arti ini, tidak perlu membuat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum dalam pandangan dunia kita dan atau lembaga-lembaga pendidikan kita.
Dari sisi sejarah, jauh sebelum Barat melakukan globalisasi, Islam pada tahun 622 M telah mengirim utusan ke Abisinia dan keluar jazirah Arabia untuk berdakwah dengan damai. Lebih luas lagi tahun 661 M-750 M Dinasti Umayah mencapai Damaskus, Cordoba, Spanyo,l dan lalu diteruskan Dinasti Abasiyah tahun 750-1258 M dengan wilayah lebih luas lagi.
Jadi, globalisasi tidak terjadi secara ahistoris (baca: tanpa preseden) dalam peradaban Islam dengan adaptasi, akomodasi, serta inovasi. Wilayah luas yang diduduki hingga hampir tiga perempat dunia ini menunjukkan keberhasilan sejarah dalam dakwah Islam.
Perubahan dramatis tatanan sosial spasial global dewasa ini membangun persepsi bahwa dunia semakin kecil namun masalah semakin besar, dan dengan demikian, tata kelola global yang lebih komprehensif dan multidimensi menuntut strategi-strategi dakwah yang baru.
Keterbukaan
Menurut saya, sedikitnya ada lima milestones bagi strategi dakwah di dunia tanpa batas. Pertama, menyajikan ajaran-ajaran Islam dengan idiom-idiom modern yang mendorong semangat peradaban.Kedua, mengubah pandangan dunia lama ke pandangan dunia baru secara lebih terbuka tanpa dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Keterbukaan ini akan menerima hal-hal baru dari mana pun datangnya sepanjang tidak merusak inti syariat.
Ketiga, menyerap dan mengimplementasikan sains dan teknologi baru dengan meremajakan lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga masyarakat, industri, dan platform. Keempat, keterbukaan untuk bekerja sama dengan siapa saja dengan prinsip kesetaraan dan saling menghormati.
Kelima, menjadikan persatuan umat Islam sebagai instrumen balok-balok peradaban. Selanjutnya, dari persatuan sesama umat lalu ke persatuan umat manusia. Jika kelima milstones di atas secara konsisten dapat ditegakkan, strategi dakwah kita telah berjalan ke arah yang benar dan beranjak naik kelas.
Perjuangan untuk ke arah ini, diakui tidaklah mudah tapi bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Sejarah telah membuktikan itu dan doktrin Islam telah menopangnya.
Mudhofir Abdullah Guru Besar Pengkajian Islam Rektor IAIN Surakarta