Cerita Sidrotun Naim, 33, tentang kehidupan masa kecil saat tinggal di rumah orangtua di Ngoresan, Jebres, Solo maupun bersama kakek dan nenek di rumah kuno di depan Pasar Grogol, Sukoharjo mengalir. Naim mengaku tidak ada hal istimewa saat kecil. Masa kecil Naim dilalui dalam kehidupan sederhana. Kata sederhana dia terjemahkan dengan makan seadanya dan hampir tidak mengenal makanan yang dikatakan mewah kala itu, seperti susu, daging maupun udang.
Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?
“Setiap hari, saya makan beras jatah PNS. Beras itu diperoleh karena ayah bekerja sebagai guru. Beras jatah terasa keras saat dikunyah dan berwarna kehitam-hitaman. Lauk tahu, tempe dan telur menjadi menu wajib meski sesekali diganti kerupuk atau karak dengan kecap. Susu, daging bahkan udang menjadi barang istimewa. Nilai positif, perut saya jadi kebal dengan makanan keras,” tulis dia sembari menyisipkan ikon tertawa terbahak-bahak saat diwawancarai Espos melalui jejaring sosial Facebook, Kamis (14/6).
Meski kehidupan anak ketujuh dari 11 bersaudara anak pasangan Abidullah dan Siti Muslichah sederhana, dia bermimpi menjejakkan kaki hingga luar negeri. Kegemaran membaca buku fiksi maupun nonfiksi dan mendengar siaran radio BBC untuk Indonesia menjadi salah satu pemicu. Kepergian ayahnya ke Inggris karena mendapat beasiswa Ilmu Ekonomi tahun 1974 makin membuat Naim bersemangat.
“Setiap kali mendengar siaran radio BBC untuk Indonesia, saya membayangkan pergi ke luar negeri. Saat itu terbayang ingin jalan-jalan,” tuturnya.
Ternyata mimpi terwujud setelah lulus dari ITB pada 2002, dia meneruskan S2 di University of Queensland, Australia. Lalu, sejak 2009, dia menetap di Tucson, AS, untuk menyelesaikan master hingga post doctor.
Awalnya, pada 2008, dia berburu beasiswa S2 di Jurusan Soil, Water and Environmental Science Arizona University.
Lamaran dijawab dengan beasiswa Fulbright dan University of Arizona Graduation Tuition Award.
Berkat beasiswa, dia mampu menerapkan prinsip sekali merengkuh dayung, dua atau tiga pulau terlampaui. Dengan beasiswa itu, dia mengambil tiga jurusan sekaligus di Arizona University. Selain S2 Soil, Water and Environmental Science, ibu satu anak itu mengambil S3 di jurusan sama. Pendidikan S2 diselesaikan 2010 sedangkan S3 direncanakan selesai Desember 2012 ini.
Lagi-lagi Naim menerima beasiswa. Dia mendapat Schlumberger Foundation Faculty for the Future Award tahun 2010 untuk S2 Microbiology and Pathobiology di Arizona University. Rencananya, dia menyelesaikan S2 itu berbarengan S3-nya.
Beasiswa membuat Naim bersemangat menimba ilmu. Dia bertemu ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Hal yang paling penting, dia mendapat fasilitas laboratorium untuk menuntaskan penelitian penyakit udang. “Pendidikan luar negeri untuk saya seperti kulit saja. Tentu saja kulit juga bagian penting dan itu yang kelihatan dari luar. Pengalaman di luar negeri justru makin mempertebal kecintaan saya kepada Indonesia dan akan mengabdi sebaik-baiknya. Saya akan kembali ke Indonesia untuk petambak udang.”
Saat ini, dia telah mendapatkan kursi untuk menimba ilmu lagi untuk program post doctoral. Kali ini, dia akan menimba ilmu Harvard University pada 2013 dan Princeton University pada 2014.
Naim membocorkan rencana riset di Harvard tentang virus penyebab diare pada manusia, yakni Rotavirus. Setiap tahun, virus itu membunuh 600.000 anak-anak di dunia di bawah usia dua tahun. Virus itu mirip dengan Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) yang menyerang udang dan menyebabkan otot udang jadi putih pucat seperti mati lantas lama-kelamaan mati.
Di Princeton, Naim meneliti bakteri Vibrio Cholera yang menyebabkan kolera pada manusia. Menurut Naim, sifat bakteri itu hampir sama dengan Vibrio Harveyi yang menyebabkan kematian udang. “Solusi akan saya buat di Harvard dan Princeton. Itu masih rahasia, hehehe. Itu akan berguna mencegah penyakit udang maupun manusia karena prinsip penyerangan virus atau bakteri pada udang maupun manusia hampir sama,” ujarnya.