Saat tiba di Terminal Ponorogo, ia dibuat bludreg karena bus yang dinaikinya tidak kunjung berangkat padahal hari sudah sore. “Wis tak mudhun wae!” teriaknya kesal sambil melompat turun dari bus.
Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda
Begitu kakinya menginjakkan tanah, beberapa tukang ojek menyerbu dan berebutan menawari tumpangan. Rata-rata mereka menawarkan Rp60.000 untuk rute Ponorogo-Sidoharjo yang berjarak sekitar 60 km. Tawaran itu mental karena Koplo hanya bersedia membayar Rp50.000.
Ndilalah ada seorang tukang ojek bernama Tom Gembus yang bersedia menerima bayaran Rp50.000 untuk mengantarkannya.
Melihat Tom Gembus yang sudah berusia lebih dari 60 tahun, Koplo sempat ragu. Ia tak tega melihat tukang ojek sepuh itu harus menempuh jarak puluhan kilometer. “Tapi lumayan juga ah, ngirit Rp10.000,” batin Koplo.
Benar saja, setelah 10 menit perjalanan, Koplo mulai gemas karena dengan motor keluaran terbaru, Gembus hanya memacu 40 km-50 km, padahal jalannya mulus tur sepi.
Geregetan, Koplo pun minta berhenti. “Setop, Pak. Setop! Begini saja. Biar lebih cepat sampai, saya yang di depan dan njenengan yang mbonceng. Ini SIM dan KTP saya sebagai jaminan,” kata Koplo sambil menyerahkan kartu identitasnya.
“Jangan takut, Pak. Saya tidak berniat jahat. Saya hanya ingin cepat sampai, sebentar lagi Magrib,” katanya.
Meski pun sempat ragu, Gembus pun akhirnya menurut saja. Dan melajulah motor baru itu dengan kecepatan tinggi, wus-wus-wusss….
Setiba di rumah, Koplo langsung turun. Entah kenapa, ia merasa kasihan dengan Gembus yang sudah sepuh tapi masih ngojek. Kebetulan di rumahnya Jon Koplo menjual bensin eceran. Ia mengambil dua botol dan menuangkannya ke tangki motor milik Gembus, lalu menunjukkan kartu anggota perkumpulan ojeknya. “Oalah, padh-padha tukang ojek ta? Mula kok prigel,” ujar Gembus.
Koplo hanya tersenyum kecut karena tidak jadi ngirit Rp10.000.
Darmo Timan, RT 001/007, Desa Sidoharjo, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri.