Esposin, SOLO— Apakah ayah dan bunda masih suka memberikan kontrol berlebih kepada anak? Hati-hati karena itu bisa menjurus pada toxic parents. Di mana hal tersebut bisa memberikan dampak tidak bagus untuk tumbuh kembang anak
Psikolog Rumah Sakit (RS) JIH Solo, Arida Nuralita, MA., Psikolog, menjelaskan ketika bicara mengenai toxic parents, maka akan bicara mengenai pelakunya, yakni orang tua anak. Toxic parents bisa dikatakan sebagai perlakuan keliru dari orang tua saat berinteraksi dengan anak. Hal itu sangat berpotensi merugikan anak secara emosional atau secara mental.
Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan
"Jadi parenting atau pengasuhan yang dilakukan sifatnya menjadi toxic atau racun. Padahal mestinya pengasuhan itu menjadi sesuatu hal yang positif, yang harusnya bisa mendidik anak dan harapannya bisa mendukung tumbuh kembang anak lebih baik," jelas dia, Senin (30/9/2024).
Hanya, ketika pengasuhan tersebut dilakukan dengan cara yang keliru, maka jika diibaratkan obat, pengasuhan itu bukan lalu menjadi obat penyembuh, namun justru menjadi racun bagi anak secara emosional dan mental.
Secara sadar atau tidak, banyak perilaku orang tua dalam mengasuh anak yang justru menjurus pada toxic parents tersebut. Salah satu contohnya adalah memberikan kontrol berlebih pada anak. Mungkin maksudnya baik, untuk memastikan anak tetap aman dan baik-baik saja.
Namun ketika kontrol tersebut dilakukan berlebihan dan masuk ke semua aspek kehidupan anak, akhirnya bisa berdampak tidak baik. Misalnya terlalu mengontrol pergaulan anak dengan menentukan dengan siapa dia bermain, menentukan ekstrakurikuler yang harus diikuti anak di sekolah, menentukan bidang pendidikan ketika anak sekolah atau kuliah, bahkan hingga menentukan karier yang harus dijalani anak nantinya dan sebagainya.
"Kadang ada beberapa orang tua melakukan hal seperti itu sehingga anak tidak punya ruang untuk bisa mengambil keputusan sendiri apa yang dia inginkan di hidupnya. Jadi anak juga tidak bisa menentukan apa yang baik untuk dilakukan dan buruk dilakukan karena semua orang tua yang ambil kendali," jelas dia.
Contoh lain yang bisa masuk tindakan toxic parents adalah memanipulasi emosi atau mempermainkan emosi untuk mendapatkan apa yang diinginkan orang tua. Misalnya memainkan rasa bersalah anak. Ketika anak melakukan kesalahan dan sudah sadar atas kesalahannya, tapi orang tua terus mengungkit kesalahan anak itu. Hal itu sampai menjadikan anak terus merasa bersalah.
Tindakan toxic parents lainnya yakni membanding-bandingkan anak dengan teman atau saudaranya. Di mana dalam kondisi itu anak diposisikan pada sisi yang negatif. "Misalnya dengan mengatakan kepada anak, kenapa tidak seperti kakaknya atau temannya, yang bisa ini bisa itu? Kenapa temannya bisa juara ini, juara itu, sedangkan kamu tidak? Dan sebagainya. Jadi anak dibandingkan dengan posisi negatif. Ini merupakan cara yang salah," lanjutnya.
Kurang memberikan dukungan emosional juga bisa memberikan dampak tidak baik pada mental anak. Menurut Arida, anak juga butuh validasi emosi. Artinya ketika sedang sedih, sedang marah atau sedang senang, orang tua bisa menerima kondisi anak tersebut dan meresponsnya dengan cara positif.
Terkadang ada orang tua yang tidak memberikan dukungan emosional yang proporsional. Misalnya anak sedang senang, orang tua berpikir hal itu sebagai kondisi yang baik-baik saja. Namun ketika anak sedang sedih atau nangis, justru diberikan respons yang tidak positif.
"Misalnya diberikan kata-kata, kamu begitu saja kok nangis? Jangan cengeng dong! Dan lainnya. Padahal ketika anak sedang sedih, sedang nangis anak mungkin sedang butuh dukungan orang tua, sedang ingin mencurahkan isi hatinya ke orang tua. Namun karena belum-belum sudah mendapatkan respons tidak mengenakkan, anak jadi urung terbuka dengan orang tua," jelasnya.
Ada juga kritik yang berlebihan yang diberikan orang tua kepada anak. Ketika anak melakukan tindakan yang dinilai keliru oleh orang tua, anak terus-menerus dikritik. Tapi ketika anak melakukan prestasi walaupun tidak selalu sifatnya akademis, anak tidak mendapatkan apresiasi. Misalnya ketika anak yang sebelumnya selalu bangun siang, ternyata dalam beberapa hari terakhir bisa bangun pagi.
Dalam kondisi ini orang tua menganggap hal itu merupakan sikap atau tindakan yang seharusnya dilakukan anak sehingga tidak diberikan apresiasi. Lalu ketika anak itu kembali bangun siang, langsung mendapatkan kritik lagi. Bahkan kritik disampaikan secara keras dan berlebihan. Menurutnya hal itu juga bukan merupakan cara yang tepat dalam mengasuh anak.
Terlebih jika kritik yang disampaikan juga hanya sekedar kritik tanpa solusi atau saran. Jika hal itu terus dilakukan, anak justru sulit membedakan perilaku baik dan buruk yang diharapkan, bahkan akan berdampak pada kesehatan mental anak.