KH Muhammad Sholikhin sepertinya tidak pernah kehabisan ide. Berbagai persoalan terutama dalam bidang agama sering diangkatnya lalu dibedah lewat buku.
Promosi Meniti Jalan Terakhir menuju Paris
Hingga pertengahan 2012 saja, setidaknya 32 judul buku yang dilahirkan laki-laki kelahiran 31 Agustus 1972, di antaranya Islam, Kosmologi Baru Agama Baru, Di Balik 7 Hari Besar dan Pedoman dan Tuntunan Shalat Lengkap. Jumlah itu tidak lama lagi bakal bertambah cepat lantaran sudah ada enam buku lagi yang siap diterbitkan.
Belum lagi enam judul buku lainnya yang kini masih dalam proses penawaran ke penerbit di antaranya berjudul Menggapai Hidup Paripurna, Melalui Pelaksanaan Ibadah Rukun Islam; Islam Sufi dan Alternatif Agama Masa Depan dan Panduan Shalat Sunah Lengkap: 116 Ritual Shalat Para Kekasih Allah. Sementara buku yang kini masih dalam proses penulisan ada tujuh judul salah satunya The History of Walisongo yang rencananya ditulis sekitar 1.500 halaman. Menulis buku bagi Sholihin bukan semata-mata jalannya membuka pintu rezeki. Lebih dari itu, buku merupakan pilihan media dakwah. Apalagi, Allah memerintahkan kaum muslim tidak hanya berdakwah melalui lisan tapi juga berdakwah bil qolam. Dia mengakui beberapa karya intelektualnya itu ditulis mengambil tema kajian yang pernah dibahas. Tapi, sebagian besar bukunya lahir murni mengambil tema dari idenya.
“Niat saya menulis buku ingin menyebar ilmu, kalau pengajian pengikutnya terbatas dan kadang pembahasan dua jam bisa habis hanya untuk membahas tafsir satu ayat. Beda dengan buku yang bisa dibaca lebih banyak orang dan bisa diwariskan ke generasi penerus,” terangnya ketika dijumpai Espos di kediamannya, Kamis (2/8).
Produktivitas menulis mantan wartawan Antara ini tidak terlepas dari kegemarannya membaca buku. Sejak kecil, suami Ni’matul Masfufah ini dididik mencintai buku. Berbagai jenis buku termasuk kitab kuning sudah ia lahap. Saat ini, koleksi buku dan kitab yang ia miliki mencapai 3.000 judul salah satu yang masih tersimpan adalah komik kisah Sultan Saladin, pahlawan Islam dalam Perang Salib. Komik terbitan 1981 itu diakuinya sangat berkesan.
“Dari dulu ayah mengajarkan saya untuk membeli buku dan membacanya,” terangnya.
Sampai saat ini, peraih berbagai penghargaan lomba kepenulisan ini masih keranjingan membeli buku. Dalam satu bulan, mubalig yang tinggal di Kompleks Baitut Ta’lim Pedut, Wonodoyo, Cepogo, Boyolali bisa membeli sekitar 10 sampai 50 judul buku. Bahkan, dalam suatu pameran buku di Solo beberapa waktu lalu, ia tak sungkan-sungkan merogoh koceknya hingga puluhan juta rupiah untuk membeli 150 judul buku.
“Kalau untuk buku, berapa pun harganya akan dibeli seperti ensiklopedia berharga Rp4 juta. Bagi saya, buku itu penting,” ungkapnya.
Demi buku pula, Sekretaris Tanfidziyah PC Nahdlatul Ulama (NU) Boyolali ini terpaksa tidak membawa pulang oleh-oleh dari Mekkah untuk istrinya. Uang Rp8 juta yang ia terima dari pemberian para jemaah lantaran jasanya menerangkan tempat-tempat bersejarah saat ia menunaikan ibadah haji dihabiskannya untuk memborong kitab tafsir besar.
“Yang jelas setiap akan membeli buku saya pasti izin ke istri. Semua buku yang saya beli harus dibaca. Sebagai penulis dan mubalig, buku dan kitab tersebut sangat bermanfaat karena ketika ditanya, saya tidak boleh ngawur menjawab, harus ada rujukannya,” terangnya.
Kegemarannya membaca buku kini juga menular kepada anaknya terutama putri pertamanya, Alfina Nurul ‘Ayni. Dalam dua pekan, Alfina bisa menghabiskan membaca 20 judul buku. Ia dan istrinya mengaku punya cara tersendiri memacu semangat anak-anaknya dalam membaca buku.
“Sebelum tidur saya selalu membacakan buku cerita untuk anak-anak. Kalau mereka sudah penasaran ceritanya, mereka saya arahkan untuk membaca bukunya langsung,” imbuhnya.