Solo Creative City Network (SCCN) yang digagas Irfan Sutikno dan rekan-rekannya juga sengaja dibikin cair tanpa embel-embel lembaga. Yang terpenting, kata dia, SCCN menjadi wadah dan semacam halte bagi insan-insan kreatif di Kota Solo. Irfan menolak cara-cara instan dan prematur di balik lahirnya sebuah organisasi kreatif. “Biarlah SCCN berdiri seperti ini. Menjadi wadah volunter untuk berdiskusi dan memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya,” kata dia.
Promosi Sejak Era Sukarno, Sejarah Timnas Indonesia Jangan Kalah dari Malaysia
Selain itu, sambung Irfan, metode seperti itu untuk menjauhkan diri dari segala kepentingan sesaat yang terselip di dalamnya. Yang muncul adalah partisipasi masyarakat penuh ketulusan. ”Kami ingin membangun solidaritas yang kuat. Jika kami melembagakan dan Pemkot menyuplai dana, kesan yang muncul ialah ada anggaran ada kegiatan, bukan partisipasi masyarakat,” paparnya.
Kelahiran SCCN memang tak hanya dibidani kalangan seniman. Kalangan akademisi dari blok timur—istilah Irfan Sutikno untuk menyebut akademisi dari UNS dan ISI— pun bisa bersatu dengan akademisi dari blok barat (UMS). “Kolaborasi antara seniman, akademisi, pelaku usaha dari kedua blok ini adalah potensi luar biasa yang tak hanya merengkuh Kota Solo. Namun, Solo dalam pengertian Soloraya,” paparnya.
Menurut Irfan, unsur terkuat sebuah kreativitas bukanlah mengejar sensasi. Lebih dari itu, kreativitas adalah upaya menemukan relevansinya dalam konteks kekinian. Dengan kata lain, potensi yang digali bisa jadi adalah sesuatu yang sama namun potensi itu mampu dihadirkan dalam konteks kekinian yang baru dan segar. “Misalnya tarian atau wayang orang. Ketika dihadirkan dengan kreativitas kekinian, bisa menjadi pertunjukan yang luar biasa,” jelasnya seraya menyebut salah satu contohnya ialah pementasan Matah Ati yang berhasil memukau masyarakat luas.