Ada banyak usulan dari peserta rapat. Dengan berbagai pengalaman dan pengetahuan masing-masing peserta rapat, akhirnya disepekati beberapa peraturan. Salah satu peraturan tersebut adalah bahwa juri dipilih dari ”orang” luar, bukan ”orang dalam”. Bila juri lomba dipilih dari orang luar dan netral, diharapkan penilaiannya menjadi netral.
Promosi Sejak Era Sukarno, Sejarah Timnas Indonesia Jangan Kalah dari Malaysia
Dalam lomba kor tahun sebelumnya, pernah terjadi ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap juri atas penilaian hasil lomba yang dianggap memihak salah satu peserta kor. Demi tidak mengulangi hal yang sama, maka disepakati aturan bahwa juri dipilih orang luar dan kompeten dengan konsekuensi anggaran menjadi lebih banyak.
Dalam pelaksanaannya di kemudian hari, meski ada yang tidak puas, keputusan juri tetap bisa diterima oleh banyak pihak. Dengan begitu, peraturan yang kami buat setidaknya membantu kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan lomba kor antarkelompok.
Pengalaman itu meyakinkan saya bahwa hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain seringkali membutuhkan aturan dan tatanan, entah tertulis atau tidak. Setiap orang memiliki kepentingan dan kebutuhan yang satu sama lain berbeda. Bila terjadi konflik kepentingan dan kebutuhan, hampir bisa dipastikan akan muncul ketegangan, kekacauan, ketidaknyamanan, dan sebagainya.
Dengan kata lain, aturan demi hidup bersama yang menjamin keselarasan hidup dibutuhkan. Aturan diharapkan dapat melayani kesejahteraan dan kebaikan bersama. Aturan-aturan itu mudah ditemukan dalam praktik hidup keagamaan, kemasyarakatan, pemerintahan, dan lain sebagainya.
Dalam sejarah kehidupan manusia yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL), ada banyak aturan. Sebutlah misalnya pada zaman Nabi Musa. Kisah Nabi Musa dapat ditemukan dalam Kitab Ulangan yang menjadi bagian dari KSPL. Tertulis dalam Kitab Ulangan, ”Dengarlah, ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup, dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allah nenek moyangmu” (Ul. 4:1).
Di situ, Musa mengajarkan peraturan bagi bangsanya agar mereka memperoleh hidup. Untuk sampai ke Tanah Terjanji, perlu diajarkan seperangkat aturan. Dalam pelaksanaannya, Musa mendorong agar mereka melakukannya dengan setia. Aturan diajarkan untuk membantu kehidupan bangsanya, menciptakan keselarasan, keteraturan, dan keselamatan tatanan hidup bersama.
Pada zaman Yesus, ada sekelompok orang yang sangat cermat dan teliti dalam mengamati pelaksanan hukum Taurat dan adat istiadat nenek moyang. Kelompok ini disebut Kaum Farisi. Kelompok ini tidak hanya mengamati pelaksanaan Hukum Taurat yang tertulis, tetapi juga hukum tidak tertulis yang tampak dalam adat istiadat. Kerap terjadi, penafsiran hukum yang berbeda-beda menimbulkan aturan-aturan baru yang justru memberatkan. Bagi kaum Farisi, supaya mendapat berkat dan keselamatan dari Tuhan, orang harus menjalankan hukum Taurat. Karena itu, dampaknya adalah jatuh pada formalisme.
Kelompok ini pun pernah menyerang Yesus dan murid-murid-Nya yang dianggap melanggar adat istiadat nenek moyang. Murid-murid Yesus dianggap ”najis” karena tidak mencuci tangan sebelum makan.
Terhadap anggapan itu, Yesus berkata, "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Mrk 7:21-23).
Argumentasi debat Yesus jelas, yakni Yesus tidak menentang hukum Musa. Yesus tidak menentang peraturan-peraturan nenek moyang, tetapi menentang praktik-praktik kesalehan yang berlebihan dan pemahaman hukum yang terpotong-potong. Yesus mengajak orang kembali pada hukum dan semangat dasar dan mengajak kembali pada jiwa dan semangat hukum yang lebih penting daripada rumusan sendiri. Dengan begitu, sikap hati dan motivasi menjadi lebih bernilai daripada ”sekadar” menjalankan aturan itu sendiri.
Semakin orang memahami dan mengerti tujuan aturan serta menjalankannya demi kebaikan dan kesejahteraan bersama, semakin banyak orang yang memperoleh manfaatnya. Hari-hari ini, sebagian besar warga masyarakat Jogja bersuka cita karena Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY akan disahkan setelah menempuh proses yang panjang. Tentu, undang-undang tersebut akan memunculkan pula seperangkat aturan teknis praktis. Jogja akan menjadi istimewa pertama-tama bukan karena telah memiliki Undang-Undang Keistimewaan, tetapi (semoga) peraturan yang nantinya dibuat oleh pemerintah Jogja sungguh membuat semakin banyak orang sejahtera, tenteram, damai, dan nyaman hidup berdampingan dengan aneka kelompok dan golongan dengan segala latar belakang hidupnya. Aturan mengabdi manusia, bukan manusia mengabdi aturan.
Rm. Antonius Dadang Hermawan, Pr
Gereja Katolik St.Yakobus
Klodran-Bantul