Bagi Prahastiwi Utari, kepedulian terhadap ketidakadilan gender bisa dilakukan dengan berbagai cara salah satunya seperti yang ia lakukan selama ini fokus menangani permasalahan yang membuat banyak perempuan tertindas di media. Karenanya, ia banyak menulis karya ilmiah tentang masalah ketidakadilan gender.
Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia
“Saya banyak menularkan kepada teman-teman untuk melakukan pemberdayaan lewat media. Bukan hanya perempuan yang dibela tapi semua kelompok yang teraniaya di media, keberpihakan saya di sana. Hanya saja yang banyak menjadi korban selama ini perempuan,” katanya ketika dijumpai Espos, baru-baru ini.
Menurut Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) tersebut, identitas perempuan di media selama ini kerap terpojokkan. Perempuan tidak diakui karena kemampuannya namun dilihat dari bayang-bayang yang ada di sekitarnya. Contohnya seperti kasus Puan Maharani yang maju menjadi calon legislatif pada 2009 lalu, media kerap mengaitkan Puan karena dia putri Megawati Soekarno Putri bukan karena melihat Puan sebagai sosok perempuan yang luar biasa atau karena kemampuannya. Begitu juga saat kedua istri bupati Kediri mencalonkan diri sebagai pengganti jabatan suaminya.
“Dalam masalah pencalonan itu, yang dimunculkan kebanyakan media identitas sebagai istri pertama dan kedua bupati. Apa kedua perempuan itu tidak memiliki kelebihan? Itulah yang membuat media kadang tidak fair terhadap perempuan,” ujarnya.
Soal minatnya yang besar terhadap masalah ketidakadilan gender atau gerakan feminisme, istri Budi Satriyo ini, mengaku hal itu bukan untuk melawan laki-laki namun membela siapa pun dan kelompok mana pun yang tertindas. “Perbedaan gender itu tidak masalah, laki-laki jika ia bersikap lemah lembut pun tidak masalah sejauh tidak merugikan orang lain.
Selain menaruh kepedulian terhadap ketidakadilan gender di media, perempuan kelahiran Palembang 13 Agustus 1960 ini kini juga mengamati pergeseran identitas perempuan dalam new media seperti Facebook dan jejaring sosial lainnya. Menurutnya, di media baru yang memberi ruang perempuan sebagai produsen tersebut perempuan justru seperti kuda yang lepas dari ikatan mengubar semua hal yang tidak perlu diungkapkan.
“Dulu perempuan cenderung menaruh rapat-rapat perasaannya dalam buku diary tapi sekarang semuanya diungkap di jejaring sosial, sebagian seperti show up hingga hal remeh-temeh pun diungkapkan. Ada juga perempuan yang lebay dan butuh identitas orang lain untuk menunjang eksistensinya,” katanya. Realitas itu mendorong ibu dua anak Iqbal Satrio Nindito dan Aiko Nayla Putri ini, turut mengawasi perkembangan mahasiswanya di jejaring sosial agar tidak salah dalam menggunakan media. “Di Facebook, saya berteman dengan 1.200 orang yang sebagian mahasiswa. Kadang jika ada mahasiswa yang kebablasan seperti memaki-maki dosen di media, saya akan panggil dan memberi arahan kepada mereka,” tegasnya.
JIBI/SOLOPOS/Lutfiyah