"Sastra hanya untuk pelajaran linguistik dan dijadikan pelajaran hiburan," kata dia di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Senin (26/4).
Promosi Borneo FC dan Kejamnya Drama Sepak Bola
Kehadiran, sastrawan, budayawan, aktor, sutradara ini di kampus UNM untuk memberi kuliah kepada mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra sekaligus memperingati Hari Sastra Nasional yang jatuh hari ini, Senin.
Menurutnya, ilmu sastra yang diajarkan di perguruan tinggi maupun sekolah-sekolah kurang mengkaji sastra-sastra murni, malah menjadikan sastra sebagai pembelajaran bahasa Indonesia. Padahal sastra cakupannya luas. "Untung, di beberapa tempat, seperti UNM ada kajian ilmu sastra murni," ujarnya.
Sekarang ini ada beberapa sekolah yang tidak mengajarkan sastra. Ia pernah mendapat pengalaman seorang anak laki-laki murid SD yang tidak mau membuat sajak, karena menurut anak SD itu, sajak adalah pekerjaan murid perempuan.
"Ada apa ini? Itu kan indikasi adanya kesalahan besar kepada anak SD," ujarnya. Ia menuturkan sastra untuk anak sekolah akan membekalinya murid pintar mengelola kata-kata, mengelola batinnya, pengetahuan bahasa. Meski mereka tidak menjadi sastrawan, tapi dengan pelajaran sastra bisa dijadikan alat berekspresi.
"Anak banyak tidak mau belajar sastra karena menurut mereka hanya membuang-buang waktu," katanya.
Sedangkan untuk mahasiswa khususnya mahasiswa sastra dengan mata kuliah murni sastra, tuturnya, jangan sampai mahasiswa hanya menghapal saja. Seharusnya mahasiswa bisa mengakses segala lini kehidupan, sosial, budaya, politik, dan agama dengan sastra.
Menurutnya sastra adalah bentuk ekspresi, dengan bahasa sebagai basisnya, yakni bahasa lisan, bahasa gerak, tubuh, isyarat, ilmiah, anak. Dia mengutip sastrawan Prancis yang mengatakan sastra bukan hiburan melainkan ilmu pengetahuan.
tempointeraktif/ tiw