Bambang Suwerda, penggagas Bank Sampah Gemah Ripah di Dusun Badegan, Bantul, sibuk. Harian Jogja Express merasa beruntung bisa menemuinya karena sejak beberapa bulan terakhir ini, Bambang mesti melanglang buana ke seantero Nusantara untuk mengenalkan konsep pengelolaan sampah. (Wartawan Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)
Pasalnya, usaha dia untuk mendorong warga agar masyarakat mau mengelola sampah dalam sistem bank kini telah diakui Pemerintah Pusat. Kementerian Lingkungan Hidup pada Februari kemarin bahkan telah mengangkat konsep pengelolaan sampah dengan model bank sampah secara nasional.
Konsep itu dirapatkan bersama dengan seluruh kepala Badan Lingkungan Hidup se-Indonesia dalam rapat koordinasi nasional. “Mulai awal tahun ini, menteri dan para deputi dari KLH secara intens belajar mengenai konsep bank sampah,” tuturnya kepada Harian Jogja, Minggu (4/12).
Tak luput pula, mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja, juga penasaran terhadap konsep tersebut, yang kemudian membuatnya turun gunung untuk belajar langsung di Badegan. “Kami [pengelola bank sampah] tak menjual konsep. Siapa saja yang mau belajar, kami terima,” tegasnya.
Bambang mengaku bersama dengan kementerian telah mengenalkan bank sampah sampai ke Pontianak, Kalimantan Barat; Jombang, Pacitan dan Surabaya, Jawa Timur; dan terakhir pekan kemarin di Salatiga, Jawa Tengah. “Minggu besok, dari Sri Lanka rencananya juga akan mempelajari bank sampah di Badegan,”celetuk dia.
Berbagai penghargaan juga telah didapatnya. Belum lama ini, pada 30 November, Bambang meraih penghargaan Greenovation Award 2011 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta.
Penghargaan dari Kick Andy Heroes Metro TV kategori perintis lingkungan dan Ashoka Fellow Indonesia 2001 dalam kategori Social Entreprenuer karena dianggap membuat pengelolaan sampah secara bijak menjadi prestasi yang sudah dimiliki Bambang.
Kiprah Bambang ini dimulai pasagempa 2006 silam. Waktu itu, banyak lubang yang mereka buat untuk membuang sampah tapi hal itu justru menimbulkan masalah baru. Lubang berisi sampah itu menjadi genangan air yang menyebabkan nyamuk berkembang biak. Akibatnya, banyak warga yang menderita penyakit demam berdarah.
Bambang yang juga menjadi Pengajar Poltekes Kementerian Kesehatan Jogja gelisah melihat kondisi itu. Dia merasa bersalah jika ilmunya tak bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya sendiri. Ia lantas mengajak ketiga tetangganya dari berbagai latar belakang untuk terlibat dalam penyelamatan lingkungan.
Mereka yakni almarhum Panut yang kala itu Ketua RT12; Nur Sahid, seorang seniman; dan Freddy Bimo, alumnus mahasiswa komunikasi di perguruan tinggi swasta di Jogja. Maka, pada 5 Juni 2008, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup, Bank Sampah Gemah Ripah berdiri.
Nasabah biasanya datang ke bank sampah sesuai jadwal yang telah ditentukan, yakni pukul 16.00 WIB. Layaknya sebuah bank, setelah sampah disetor, nasabah akan mendapat bukti setoran dari petugas teller. Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah sampah yang kemudian dicatat dalam buku tabungan.
Harga sampah bervariasi bergantung pada klasifikasinya. Kertas karton dihargai Rp2.000 per kilogram, kertas arsip Rp1.500 per kilogram sedangkan plastik, botol dan kaleng harganya menyesuaikan ukuran.
Setelah sampah terkumpul banyak, petugas bank menghubungi tukang rongsok. Tukang rongsok memberi nilai ekonomi tiap kantong sampah milik nasabah. Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan dengan bukti setoran dan kemudian dibukukan. Tak hanya dijual ke rongsok, sampah juga didaur ulang menjadi aneka macam kerajinan.
Bambang tak mengira usahanya tersebut kemudian mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Pusat dan berbagai macam penghargaan. Sampai sekarang Bambang bahkan masih mengembangkan cara pengelolaan lainnya, terkhusus limbah sampah beracun rumah tangga, seperti baterai. “Setidaknya dari kampung bisa untuk negeri,” tambahnya.
HARJO CETAK
Promosi Sejak Era Sukarno, Sejarah Timnas Indonesia Jangan Kalah dari Malaysia